Kebudayaan Suku Dayak






Suku Dayak


Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.

Asal Mula
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

Pembagian sub-sub etnis

Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.

Dayak pada masa kini

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
·         Dayak Mongoloid,
·         Malayunoid,
·         Autrolo-Melanosoid,
·         Dayak Heteronoid.
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.

Tradisi Penguburan


Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang dimaksud adalah Selokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
·         penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
·         penguburan di dalam peti batu (dolmen)
·         penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
1.      wadah (peti) mayatà bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
2.      wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
1.      lubekng (tempat lungun)
2.      garai (tempat lungun, selokng)
3.      gur (lungun)
4.      tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1.      penguburan tahap pertama (primer)
2.      penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
1.      Parepm Api (Dayak Benuaq)
2.      Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :

·         dikubur dalam tanah
·         diletakkan di pohon besar
·         dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
1.      Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2.      Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3.      Marabia
4.      Mambatur (Dayak Maanyan)
5.      Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)

Agama

Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.
Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.
Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.
Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan. Pada masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab. Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.

Konflik

Konflik antar unsur masyarakat di Kalimantan Barat menimbulkan adanya ketidakteraturan dalam masyarakat dimana masing-masing unsur tersebut tidak dalap bersatu bersama membentuk struktur sosial dalam masyarakat dan menyebabkan adanay keonaran dalam masyarakat.

Menurut saya, konflik ini dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan tanpa menimbulkan konflik lebih lanjut seperti yang sudah terjadi sebelumnya.

Kondisi Alam

Pada masa Hindu pulau kalimantan juga dikenal dengan nama Brunai, Borneo, Tanjung Negara, dan dengan nama setempat Pulau Bagawan Bawi Lewu Telo.
Pulau ini merupakan pulau terbesar di Indonesia, luasnya mencapai lima kali pulau jawa. Secara geografis, pulau ini dikelilingi laut. Di sebelah barat Selat Karimata, sebelah timur Selat Makassar dan Laut Sulawesi, sebelah utara Laut Cina Selatan dan Sulu, san di sebelah selatan Laut Jawa.
Kondisi Fisik Dasar dan Sumber Daya Lahan Pulau Kalimantan sebagian besar merupakan daerah pegunungan / perbukitan (39,69 %), daratan (35,08 %), dan sisanya dataran pantai/ pasang surut (11,73 %) dataran aluvial (12,47 %), dan lain-lain (0,93 %).
Umumnya topografi bagian tengah dan utara (wilayah republik Indonesia/RI) adalah daerah pegunungan tinggi dengan lereng-lereng yang terjal dan merupakan kawasan hutan dan hutan lindung yang harus dipertahankan agar dapat berperan sebagai fungsi cadangan air di masa yang akan datang.
Dari tipikal tanahnya, Kalimantan adalah daerah yang kurang subur dan sukar diairi untuk dijadikan sawah, dan akan berair hanya ketika hujan. Karenanya daerah ini hanya cocok untuk tumbuhan yang hidup di tanah kering. Sehingga wajar saja jika dalam budaya masyarakat Dayak hanya mengenal sistem bercocok tanam perladangan yang berpindah-pindah.
Secara komposisi, pulau Kalimantan memiliki pulau-pulau kecil, gunung-gunung, sungai-sungai dan lain-lain. Beberapa pulau yang tercatat adalah; Pulau Labuhan, Maya, Bunyu, Tarakan, Karimata, Laut, Sebuku, Natuna, Subi, Serasan, Teberian, Penebangan, Damar, Karayan, Keramayan, Nunukan, Sebatik, Bangkudulis, Baru, Tibi, Derawan, Panjang, dan Kakaban.
Gunung-gunung di Kalimantan antara lain; Pegunungan Kapuas, Scwaner, Mulier, Meratus, dan Madi. Gunung yang tertinggi di pulau ini terletak di Kalimantan Utara yaitu Gunung Kinabalu dengan ketinggian 4.175 M dan Bukit Raya 2.218 M di atas permukaan Laut.
Beberapa tanjung yang tercatat di Pulau Kalimantan adalah; Tanjung Sampan Mangio, Datuk, Baram, Usang, Sambar, Silat, Puting, Layar, Mangkalihat, dan Malatayur. Sementara teluk yang terdapat di Kalimantan adalah: Teluk Berunai, Balikpapan, Adang, Paitan, Marudu, St. Lucia, Datuk, Darvel, Kumai, Sekatok, Sampit, Serban, dan Sebangau.
Dan yang terakhir adalah sungai-sungai yang tersebar di Kalimantan antara lain: di Kalimantan Utara terdapat: sungai Batang Lupar, Trusan, Krian, Padas, Batang Rayan, Kinabatangan, Kemenah, Kagibangan, Baram, Segama, Sugut, Kalumang, Radas, dan Kalapang.
Di Kalimantan Timur ada sungai Sebuku, Kayan, Sembakung Berau, Sesayap Karangan, dan Sekatuk Mahakam. Di Kalimantan Tengah terdapat Sungai Barito, atau Murung dengan anak-anak sungai: Tewe, Murung, Lahei, Kumai, Arut atau Lamandau, Jelai, dan Kapuas. Sementara Kahayan memiliki anak-anak sungai: Semabngau, Katingan atau Mendawai, Mentaya atau Sampit, dan Pembuang atau Seruyan.
Dan di daerah Kalimantan Selatan, terdapat sungai Martapura, Aluh-aluh Besar, Batu Laki, Hantu, Durian, Barito, Kupang, Batu Licin, dan Bahan. Di Kalimantan Barat terdapat Sungai Kapuas, Paloh Sambas, Sebangkau, Ambawang, Sebakuan, Menlinsan, Mempawah, Landak, Kapuas Kecil, Kawalan, Kayung, Sengkulu, Simpang, Pawan, Air Hitam Besar, dan Kendawangan.
Dengan komposisi tanah yang berformasi kwartier, dengan muara sungai yang lebarnya antara 1 hingga 2 Km, secara otomatis di daerah pesisir Pulau Kalimantan terdapat rawa-rawa yang pada waktu air pasang tergenang air dan ditimbuni endapan yang terbawa oleh sungai-sungai.
Jika endapan mencapai ketebalan satu meter dan tercampur dengan gambut, tanah itu akan ditanami dengan tanaman berakar yang suka zat asam yakni famili nyrtaceae, famili compositae, famili papiliomacena, dan famili nyphacacene.
Sementara di tanah daratan dan termasuk bukit yang tingginya hingga 120 m, ditemukan kebun buah-buahan, tegalan dan sawah musim hujan alias sawah tadah hujan.
Selain itu juga bisa ditemukan pohon-pohon nangka, durian, rambutan, duku atau langsat, kasturi, keminting, pisang, pepaya, dan karet. Untuk daerah yang ber-danau di Kalimantan, dipergunakan sebagai tempat pemeliharaan ikan, bebek, dan kerbau.
Jadi, selain menangkap Ikan Masyarakat Dayak pun membuat tambak untuk memenuhi kebutuhannya pada ikan, dan berternak untuk memenuhi kebutuhan akan daging selain berburu.
Di tanah datar dan pegunungan, masyarakat Dayak biasanya menanam padi dengan sistem berladang. Jenis-jenis padi yang digunakan termasuk jenis padi gunung, yakni: Rantaumudik, Badagai, Lurus Raden, Manjan Delima, Gadis, dan Umbang.
Selain dikenal dengan sungai-sungainya yang lebar hingga 200-1.500 m dan panjang hingga 300-500 km, Pulau Kalimantan juga terkenal dengan hutannya yang lebat dan sebagian besar belum terjamah oleh Manusia.
Karena itu tentunya banyak terdapat binatang-binatang buas sebagai penghuninya, seperti macan dahan atau dalam bahasa Dayak hanguliah, orang hutan alias kahiu alas, beruang, landak, ular, dan buaya.
Dengan hutan yang begitu luas, maka Kalimantan pun memiliki hasil hutan yang beragam, di antaranya; kayu ulin alias tabalien, bulin, onglin eusideroglon, dan zwageri yang terkenal dengan nama kayu besi.
Selain itu juga ada kayu damar, kayu lanan, kayu garunggang, kayu tampuran, kayu ranggas, kayu meranti, kayu bangkirai, kayu rasak, kayu palepek, kayu meran bungkan. Kemudian jga ada kayu bangalan atau agathis atau pilau yang dapat dijadikan triples, kertas, dan korek api.
Selain jenis kayu juga terdapat jenis rotan atau uei dalam bahasa Dayak, di antaranya; rotan taman, rotan sigi, rotan irit, rotan achas, rotan semambu, rotan tantuwu, rotan lilin, rotan belatung, rotan bajungan dan lain-lain.
Beberapa jenis lilin, madu, kulit kayu, juga bermacam-macam damar dan getah karet pun turut melengkapi kekayaan hasil hutan di Kalimantan.
Karena iklim di Kalimantan termasuk dalam iklim yang tidak mempunyai bulan kemarau dan beberapa daerah memiliki 1-2 bulan kemarau, dengan iklim yang demikian hutan yang terdapat di Kalimantan tergolong dalam hutan hujan tropis.
Namun jika dibagi menurut formasinya, hutan-hutan di kalimantan akan terbagi dalam; hutan payau, hutan nipah, hutan rawa, hutan bukit atau primer, dan hutan gunung.
Dengan wilayah yang luas dan bentang alam pun tipologi yang khas menjadikan Kalimantan sebagai wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati dan flora fauna.
Sebagai wilayah eco-region yang memiliki karekteristik keberagaman ekosistem namun memiliki ketergantungan satu sama lain serta menyatukan ekosiste m alam dengan masyarakat sehingga dapat menjamin integritas, resiliensi, dan produktivitas sumber daya alamnya.
Maka bisa kita lihat, betapa alam memiliki peranan yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat suku Dayak, sehingga membentuk kebudayaan yang arif terhadap alam terutama hutannya.
Maka tak heran jika Masyarakat Dayak memiliki aturan adat yang ketat terhadap hutan dan segala isinya yang harus kita hargai dan lindungi bersama karena di Kalimantan terdapat paru-paru dunia.
Semoga deportasi hutan yang terjadi hari ini, segera disadari sebagai ancaman bagi kehidupan dan segera diupayakan kembali kelestariannya.

Mata Pencaharian

1. Bertani
Pada jaman dulu, sejak sebelum mengenal adanya pendidikan formal, kebanyakan masyarakat Dayak memiliki mata pencaharian sebagai petani yang menggarap lahan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Kondisi tanah di Kalimantan memiliki lapisan humus tipis dan berjenis tanah gambut, membuat lahan suku Dayak mudah sekali kehilangan kesuburan.
Cara meningkatkan kesuburan adalah dengan membakar lahan dan membuka lahan baru. Semenjak mengerti cara pertanian modern, sistem ladang berpindah dan juga membakar hutan ini sudah mulai ditinggalkan, Tidak sedikit suku Dayak yang merubah pola pertanian mereka dengan pertanian moderen lebih cenderung sawit dan Karet.

2. Berburu
Suku Dayak biasanya berburu di hutan dan mencari ikan di Sungai. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan setelah masa tanam, yakni saat menunggu panen dari kebun mereka. Hewan yang sering menjadi tangkapan mereka dan menjadi makanan sehari-hari adalah babi hutan, Rusa, Burung, tupai, kijang, pelanduk, dan hewan-hewan yang bisa ditangkap lainnya.
Masuknya pendidikan formal di kalangan suku Dayak, banyak dari mereka yang meninggalkan pola berburu menjadi pola beternak. Umumnya ternak mereka adalah babi karena sangat mudah mencari makanannya. Babi adalah bahan makanan dan juga merupakan binatang yang sering digunakan dalam upacara adat tradisional suku Dayak. Selain itu juga ada ayam yang diternak secara bebas dan kandang saat sore tiba.

3. Pegawai
Dewasa ini banyak putra/i suku Dayak yang berhasil menempuh pendidikan hingga tingkat yang paling tinggi sehingga merubah pola mata pencaharian suku Dayak. Banyak dari generasi baru suku Dayak yang kemudian menjadi pegawai negeri, karyawan di perusahaan swasta atau BUMN bahkan menjadi pejabat di pemerintahan.

Daftar Pustaka
http://www.wacana.co/2012/11/wilayah-suku-dayak/
http://penulisopini.blogspot.com/2013/11/mata-pencaharian-masyarakat-dayak.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
http://blog.unnes.ac.id/annisaluthfiani/?p=376

Komentar

Postingan Populer